Obrolan Meja Makan

“Tok, tok-tok-tok, tok tok!”

Begitu bunyi sendok makan yang diketok nenek gue ke piring beling, setiap habis maghrib. Gue dan seisi rumah langsung tahu, bunyi itu adalah panggilan bahwa makan malam udah siap.

Dari dulu, keluarga gue adalah penganut aliran makan bersama-sama di meja makan. Nggak ada tuh, ceritanya makan di depan TV atau di kamar masing-masing. Semua harus duduk manis di meja makan, tanpa terkecuali.

Sejujurnya, meja makan gue udah berasa lumayan sempit buat penghuni rumah yang terdiri dari gue, nyokap, nenek, kakak sulung, kakak ipar, dan tiga ponakan gue yang masih dalam masa pertumbuhan (ABG itu masih masa pertumbuhan, kan?).

Meskipun sempit, tapi nyokap gue selalu bilang kalau “jantung” rumah kami ini lokasinya emang di meja makan. Soalnya, suasananya selalu ramai dan penuh gelak tawa. Kadang, kucing gue, Nugget, juga ikut makan dari mangkok pink-nya, yang letaknya nggak jauh dari meja makan.

Menu makanan di rumah gue sebenernya standar masakan rumahan pada umumnya. Sajian tetap yang hampir setiap minggu ada adalah ayam goreng lengkuas, telur balado, sayur bayem, dan tumis brokoli wortel. Combo sederhana favorit kami semua adalah ikan selar goreng dan sayur asem. Kakak gue sebagai perancang menu masakan juga kadang suka bereksperimen. Minggu ini, eksperimennya soto kediri. Minggu lalu, tongseng kambing. Minggu lalunya lagi, sop buntut.

Waktu makan malam juga waktunya kami sekeluarga ngobrolin macem-macem topik yang lagi hangat.

Source

Topik-topik hangat ini bisa apa aja, mulai dari yang dekat dengan keseharian seperti persaingan ibu-ibu Jaksel mengejar sekolah negeri terbaik, keponakan gue yang ditaksir banyak cewek di sekolahnya, atau nyokap yang hobi pesen makanan dengan ongkir melebihi harga makanannya sendiri.

Kadang, kami juga heboh ngomongin isu-isu global. Beberapa minggu terakhir, topik yang mampir ke meja makan adalah tak lain dan tak bukan, kasus Meghan Markle dan BRF (British Royal Family).

Wkwk. Itu isu global, kan?!

Keponakan gue yang cowok dan yang paling kecil sih nggak terlalu tertarik ngebahas soal ini. Tapi gue, nyokap, kakak, dan ponakan gue yang paling gede (kelas 3 SMA) napsu banget sama topik ini. Yang menarik adalah, satu kasus ini dilihat dari empat sudut pandang oleh empat generasi berbeda.

Ada generasi baby boomer (nyokap gue), generasi X (kakak gue), generasi millennial (you know who), dan generasi Z (ponakan gue). Tiap generasi punya titik fokus yang berbeda dari permasalahan pelik ini, sehingga opini yang ditawarkan juga berbeda.

Keponakan gue misalnya, si gen-Z yang lahir tahun 2002.

Dia tumbuh besar di era digital dengan akses yang sangat luas terhadap informasi. Dari kecil, dia udah terekspos sama tokoh cewek-cewek muda pendorong perubahan seperti Malala Yousafzai, Greta Thunberg, dan Alexandria Ocasio-Cortez. Dua dari nama tersebut adalah women of color.

Lalu, keponakan gue juga penggemar berat K-pop (any MOAs here?) dan K-drama, sehingga Hollywood dan musik Barat bukanlah satu-satunya kiblat yang dia kenal di dunia hiburan. Dengan kata lain, dia nggak terdoktrinasi bahwa otoritas cuma bisa dimiliki oleh bangsa kulit putih. Obama aja bisa jadi presiden!

Oh ya, gen Z itu juga melek banget sama isu-isu yang gue sendiri baru mudeng pas kuliah. Dengan bahasa Inggris cas-cis-cus dan gestur lebay, keponakan gue bisa ngejelasin ke nyokap gue tentang rasisme, kesetaraan gender, cultural appropriation, kesehatan mental dan hak-hak LGBTQ dengan gaya bahasanya sendiri. Pas gue tanya,

“Kamu belajar dari mana sih, Kak?”

“TikTok, of course.” jawab ponakan gue sambil ngunyah tempe.

Seperti yang bisa ditebak, fokus keponakan gue ada di kesehatan mental Meghan yang terganggu dan dugaan komentar rasis yang ditujukan terhadap Archie. Ketika keponakan gue tahu bahwa dulu, mendiang Princess Diana menderita bulimia dan depresi di masa pernikahannya dengan Prince Charles — di situlah keponakan gue menentukan keberpihakannya. And because she didn’t grew up with Disney princesses, she never had a notion of how a “princess” should be like.

Buat dia, juga nggak masuk akal bahwa perempuan harus memelihara mentalitas “terima nasib” dan rela menderita sendirian, atas dasar apa pun. Perlu diingat, gen Z adalah generasi yang menciptakan tagar #ReformasiDikorupsi, jadi bisa dibayangin kan, betapa mereka nggak ada takut-takutnya sama pemangku kekuasaan?

Sedangkan gue, alasan yang mengusik gue mungkin lebih sempit.

Gue pribadi muak banget sama pembentukan narasi bahwa perempuan mengemban tanggung jawab lebih besar buat bikin semua orang seneng dan membangun situasi yang harmonis. Isn’t that everybody’s job? Not just women’s?

Pembentukan narasi ini tentunya salah satu hasil kerjaan tabloid-tabloid Inggris yang meracuni persepsi publik secara sistematis terhadap mantu-mantu BRF (yes, Diana and Kate included). Dan hate comments di social media berjasa banget mengamplifikasi suara-suara yang membunuh karakter ini. Lama-lama, ekspektasi yang nggak sehat terhadap perempuan semakin kuat. Masyarakat jadi terlalu kritis sama perempuan, dan untuk alasan yang salah.

(Eh, sekarang juga udah begitu deng).

Begitu kapal oleng dikit, yang dihakimi duluan pasti perempuan. Kalo ada laki-laki selingkuh, publik langsung heboh mengutuk si pelakor, yang dianggap menggoda dan menodai kesetiaan si laki-laki. Istri pun nggak luput dari asumsi bahwa sang suami selingkuh karena *pasti* ada yang kurang dari sang istri. Kalau bukan karena kesalahan perempuan-perempuan ini, nggak mungkin si laki-laki jajan di luar.

Huy, emangnya laki-laki itu anak kecil yang nggak bisa mikir sendiri apa? Ampe keputusan hidupnya harus seolah “ditentuin” sama perempuan-perempuan di sekitarnya?

Naik ke satu generasi lagi, kali ini kakak gue si gen X punya alasan yang kurang lebih mirip sama gue, tapi sorotannya lebih spesifik ke para lelaki di istana.

Kakak gue nyerocos bikin daftar “dosa” para lelaki Windsor— Prince Phillip yang rasis, Prince Charles si suami destruktif, dan yang terparah, Prince Andrew dan afiliasinya dengan Jeffrey Epstein, miliarder Amerika yang memperdagangkan seks dengan perempuan di bawah umur.) Bahkan Prince Harry pun ikutan kena, karena menurut kakak gue, Harry juga ada egois-egoisnya:

“Ya kalo dia udah step down sebagai working royals, jangan minta istrinya nongol di Oprah terus minta keamanan dan stabilitas dari istana, dong.”

Ampun, kk.

Apakah kemarahan kakak gue ini bersumber dari gen X yang tumbuh melawan Orde Baru — simbol penyalahgunaan kekuasaan puluhan tahun oleh men in power?!

Bisa jadi. (Menurut kelen gimana?)

Terakhir, boomers. Alias nyokap gue, yang di tahun 80-an gaya rambutnya bener-bener persis Princess Diana, dan sampai detik ini bisa murung seketika kalau gue mulai membahas Princess Diana. She’s a forever Diana fan.

Nyokap gue adalah generasi yang melihat langsung roller-coaster kehidupan Princess Diana. Mulai dari nungguin siaran langsung royal wedding Charles – Diana di tahun 1981, ngikutin berita perceraian dan isu perselingkuhan Charles, sampai terkaget-kaget pas tahu Diana meninggal karena kecelakaan di Paris. Gue inget banget dulu nyokap sempet beli banyak majalah luar negeri buat update kabar pasca kematian Diana.

Nyokap nggak begitu banyak bahas Meghan – Harry, tapi beliau menekankan satu hal; nyokap paham betul gimana tekanan dari istana dan tabloid gosip di Inggris bener-bener bisa ngancurin hidup orang.

Namun, nyokap juga bilang, bahwa bagaimana pun, BRF itu bukanlah “keluarga”, melainkan institusi ribuan tahun dengan segala aturan dan tradisinya yang njelimet. Nggak gampang buat institusi ini bikin penyesuaian-penyesuaian. Jadi, nyokap gue bersimpati sama penderitaan Meghan, mengerti bahwa cinta itu konon bisa mengalahkan segalanya, tapi kadang realita nggak peduli cinta itu hadir dalam bentuk apa. Apakah kebebasan, atau pengekangan?

Hadeuh, pelik.

Perbedaan sudut pandang dan titik fokus ini sejujurnya bikin obrolan gue dengan orang-orang rumah semakin kaya. Soalnya, semakin beragam perspektif yang kita pakai untuk ngelihat sesuatu, semakin mudah buat kita memandang masalah dari berbagai sisi.

Kami semua juga berusaha untuk nggak ngelihat masalah ini dengan kacamata hitam – putih. Nggak ada yang sibuk menyalah-nyalahkan satu pihak, karena kita sama-sama tahu bahwa dunia itu ribet dan label yang ada bukan cuma jahat – baik, bener – salah. Sifat manusia kan juga beragam, dengan 1001 motif yang nggak akan pernah bisa kita pahami sepenuhnya.

Apa pun topiknya, alih-alih nunjuk si ini salah atau si itu harusnya begitu, obrolan kami jadi mengalir terus karena tiap orang sibuk menebak-nebak,

“Apa sih, tujuannya si anu berbuat kayak gitu? Kenapa dia nggak berbuat X aja? Kira-kira apa resikonya?”

Jangankan monarki Inggris, yang dari nonton The Crown aja udah kebayang rumitnya, perkara receh kayak kucing tetangga dihamilin siapa aja bisa jadi perbincangan serius.

Kalau kakak gue yang kedua (sesama gen X kayak kakak sulung) dan anaknya lagi main ke rumah, obrolannya bisa makin seru. Apalagi kalau nenek gue (Silent Generation) juga ikutan nimbrung. Wah, udah diskusi lima generasi ituh!

Source

Meskipun kadang ada sengit-sengitnya, tapi satu hal yang gue juga suka adalah kami saling belajar dari satu sama lain.

Nyokap gue belajar betapa dunia hari ini sudah sangat berbeda dari dunia yang beliau kenal waktu masih berumur 19 tahun — seumur keponakan gue yang paling gede — dan keponakan gue pun belajar bahwa seberapa pun ekstrimnya perubahan yang terjadi di masa sekarang, ada nilai-nilai hidup yang sifatnya lintas zaman.

Harus diakui, ada hal-hal yang bisa diprediksi dan “dibaca” sama nyokap gue, dan seringkali hasilnya akurat. Komentar nyokap tiap gue bahas soal ini adalah,

“Yah, mama kan udah hidup jauh lebih lama dari kamu.”

🙂

Dan obrolan di meja makan ini juga jadi pengingat bahwa banyak banget hal yang terjadi di luar sana, di luar meja makan kami yang nyaman. Opini kami terhadap satu di antara seribu fenomena lainnya bisa mengarah ke opini berikutnya, dan mempengaruhi cara pandang kami terhadap dunia secara keseluruhan.

Mungkin ada opini yang tetap bertahan hingga bertahun-tahun kemudian. Mungkin ada opini yang sedikit bergeser, atau berubah total 180 derajat. Nggak ada yang pernah tahu.

Nevertheless, our dining table is always a safe place for everyone to listen, learn, and voice out their opinions.

Mungkin, sekarang ponakan-ponakan gue nggak merasa bahwa sesi ngobrol di meja makan ini semacam “simulasi” mereka terhadap dunia nyata. Tapi suatu hari nanti, mereka akan ketemu orang-orang dengan latar belakang dan prinsip hidup yang sangat berbeda dengan mereka.

And as a self-proclaimed cool aunt (who can’t cook for shit), I really hope they meet all kinds of people one day.

Kalau mereka nggak kebiasa dengan perbedaan pandangan, mereka akan merasa semua orang yang berseberangan pendapat dengan mereka itu adalah musuh, dan mindset kayak gitu hanya akan bikin mereka terperangkap di bubble yang itu-itu aja.

Dibesarkan di keluarga yang sama tapi beda generasi aja perspektifnya bisa beda banget, apalagi di keluarga yang beda, kan? Kalau di meja makan kita masih bisa bercanda-canda asbun dan risikonya cuma dijitak, di luar sana penghakimannya bisa lebih kejam, wahai ponakan-ponakankuh!

Semoga mereka (dan gue juga tentunya), selalu bisa sadar bahwa manusia itu punya banyak sisi, dan apa yang penting buat kita belum tentu penting buat orang lain. Begitu pula sebaliknya.

Apa yang kita anggap benar pun suatu saat bisa aja berubah. Satu-satunya hal yang mutlak dan nggak akan berubah di dunia ini adalah keindahan wajah Kim Seokjin perubahan itu sendiri, jadi jangan pernah takut buat belajar sudut pandang baru dan melihat sesuatu dari segi yang berbeda.

Karena, yang pada akhirnya bisa menentukan arah hidup kita adalah pemahaman dan opini yang kita bentuk atas hasil riset dan pengalaman sendiri, bukan yang diinstruksikan oleh orang lain.

Bukankah begitu, yorobun?

2 comments

  1. Berat berat berattt buat bacaan di Minggu pagi ((: tapi obrolan meja makan keluarga kamu seruuuu amat, Dara! Nggak kebayang sambil ngunyah ayam lengkuas sambil ngomongin isu BRF hahaha. Btw, aku kira kalian juga ngomongin isu ghosting hihi

    Aku setuju banget soal kita nggak bisa lihat segala sesuatu dari kacamata hitam atau putih. That’s why aku nggak berani komentar macam-macam di sosmed tentang isu ini. Cuma seru aja sih liat pandangan public figures yang speak up tentang Meghan maupun Felicia. Ada yang lihat dari sisi A, dari sisi B, dan yaa sebagai penonton kita nggak akan tahu mana yang benar-benar benar.

    Pelajaran banget deh ini buat anakku saat dewasa nanti. Belajar lihat masalah dari berbagai sudut, terus kalau kena masalah harus bisa solve dengan elegan (bukannya di-post di sosmed kemudian jadi konsumsi publik 🤭).

    Thank youu Dara for writing this ✨ sering-sering nulis yaaa. Salam dari Army cabang Bogor 😆

    Like

  2. Ih suka deh cara kak dara menarasikan opini mamanya. Kadang kalo ngobrol sama nyokap soalnya butuh waktu dulu untuk mencerna. Mungkin kedengerannya cuma kaya ‘Mama sih dukung Princess Diana,’ tapi sebenernya nyokap tuh punya argumen yang on point dan bikin kita mikir ‘aaah iya juga, ya. Kalo gue jadi nyokap juga gue keknya mikir gitu, deh.”

    Anyway terus menginspirasi ya Kak Dara. Sehat2 sekeluargaa!

    Like

Leave a comment